Beberapa hari ini suka duka membuat jantungku sesak. Menyesal, marah, sedih, Bingung bercampur aduk menjadi satu. Aku tau dan sudah menduga ada yang aneh dengan kondisinya sejak Januari lalu. Gadis 9 tahun itu hanya diam setiap kali ditanya. Ia banyak menelan ungkapan hatinya karena ibunya tak nyaman untuk diajak bicara. Ia yang dulu ceria jadi tak banyak kata. Tentu aku punya andil besar karena tak jadi tempat yang nyaman untuk berbagi. Banyak mengintimidasi, khawatir berlebih dan otoriter selama mengasuhnya. Jelas itu membuatnya berubah dari karakter aslinya.
Aku yang menyadari semua itu pun tak mudah berubah. Semua yang kulakukan padanya adalah hal yang kualami di masa kanak-kanak. Innerchild istilahnya. Tapi menjauh dari luka lama itu sulit. Dan ia serta adiknya menjadi korban ketidakmampuanku.
Sebenarnya semenjak tinggal di asrama sikap nya mulai berubah. Senyum di wajahnya mulai kembali. Meskipun sedikit ia mulai mau bercerita. Aku yang tadinya menentang keputusan ayahnya mengirim ke asrama pun jadi ikut gembira. Mungkin ini pilihan terbaik. Toh gadis kecilku bahagia meskipun harus tinggal jauh dari ku.
Karena terlalu abai, aku pun jadi kurang perhatian padanya. Ia yang memang pendiam tak banyak mengeluh dengan kehidupan barunya. Aku merasa damai. Tapi ternyata itu semua bagai bom waktu. Akhir Desember 2021 saat libur sekolahnya, wajahnya sudah sedikit membengkak di bagian mata dan hidung. Ia bilang itu tak apa-apa, tak sakit. Aku hanya mengoleskan madu. Kebetulan muncul bintik-bintik gudik. Oh, ternyata sakit gatal yang biasa dialami teman-teman nya, pikir ku begitu. Selama seminggu kupinta ia tetap di rumah dan minum habbatussauda agar sembuh. Dan memang bengkak dan gatalnya sembuh.
Ku kira itu sudah berakhir. Ternyata tidak. Masalah utama dan sebabnya belum ketemu. Maka kondisinya memburuk dari sebelumnya. Tanggal 10 Februari ia pulang untuk berlibur 2 hari seperti biasanya. Saat itu hujan deras dan dingin. Maria pulang dengan bengkak di wajah, leher, dan kaki nya. Batuk yang kukira hanya batuk flu biasa tapi malah makin parah disertai sesak nafas. Semalaman ia tidak bisa tidur dan menangis karena nafasnya sesak. Aku pun kebingungan sembari memeluk bayi kecil yang tidak bisa ditinggal. Ayahnya lah yang hanya bisa menemaninya terjaga karena sakit yang ia derita.
Setelah esok datang, ia baru bilang berhari-hari dadanya sakit saat hendak tidur dan sholat. Aku tercengang. Rasanya bulan lalu ia tak mengeluh begini. Berarti ini belum sebulan ia alami. Sedang bengkaknya yang parah mengarah ke gangguan ginjal. Dan dugaan itu semakin kuat manakala ia bilang ke bidan langganan kami bahwa kencingnya berwarna merah pekat seperti warna teh.
Sebelum memutuskan ke spesialis anak, ku coba meminumkan air kelapa selama dua hari. Meskipun melakukan uji coba dalam kasus kesehatan anak itu tidak baik tapi ternyata air kelapa itu manjur untuk menghilangkan bengkak dan menghidrasi tubuhnya. Paginya badannya panas tinggi. Aku jadi bertanya-tanya, apa itu sebab air kelapa. Kami segera membawanya periksa ke dokter anak rekomendasi bidan kami. Berharap mendapat pencerahan atas keadaan nya. Sayangnya aku tidak beruntung. Berharap mendapat edukasi malah dimaki-maki. Dalam seluruh kalimatnya pun penuh diskriminasi karena aku ibunya, aku lah yang pantas disalahkan. Aku pun terdiam. Tidak ada gunanya mendebat dan menjelaskan bahwa aku tidak seharusnya disalahkan. Tapi dalam tangis aku menyerah pada ego, aku memang punya andil dalam sebab sakitnya. Bukan hanya dokter itu, semua orang pasti akan menyalahkan ku sebagai ibu yang tidak bisa merawat anaknya.
Kami pulang dengan membawa lelah dan tangis. Meskipun sakit parunya belum dipastikan dengan rontgen, hatiku sudah bergemuruh duka. Ada rasa sedih, marah ,kecewa. Rasanya aku ingin marah pada ayahnya maria karena membuatnya tinggal di asrama padahal ia belum mampu hidup mandiri. Tapi ku telan amarah itu. Ku lihat wajah pak bojo yang lelah dan susah. Meski ia tak menangis tapi pasti hatinya sedih, dan bingung sama seperti ku. Menyalahkannya hanya akan membuat keadaan menjadi semakin sulit. Dan aku hanya bisa memeluknya, menumpahkan tangisku sambil berharap hasil rontgen esok hari akan berbeda.
0 komentar