Thursday, February 13, 2020

Maaf, aku pengecut

Maafkan aku..
begitu yang terlintas di kepalaku setiap berita tentang bullying mulai ramai beredar. Aku bukan pelaku perundingan, tapi pernah merasakan di bully. Bertahun-tahun berlalu rasa sakitnya masih ada. Kepercayaan diri yang menurun akibat hinaan yang berulang. Tapi aku bisa melewatinya. Tentu itu anugerah Yang Maha Kuasa. Hanya saja bekas nya masih terasa.
Beberapa hari ini berita tentang pelajar yang dibully teman-temannya santer di media sosial. Bukan hal baru jika sekolah menjadi gudang kasus bullying. Hanya saja media sosial di masa kini memudahkan berita semacam itu menyebar. Setiap kali membaca cerita tentang anak-anak yang dibully, aku masih tersedu saat sendirian.

Selain trauma, aku pun punya penyesalan. Dulu ada seorang teman yang menjadi korban bully. Keadaannya tentu lebih buruk daripada aku. Ayahnya pergi merantau. Ibunya punya masalah kejiwaan. Diusianya yang masih sekolah dasar. Ia pun mesti merawat ibu dan adik bayi yang baru dilahirkan. Keadaannya yang jauh dari kecukupan dan nyaman, tentu menjadi sasaran empuk pelaku perundungan. Ia sering dicemooh, diganggu dan dijauhi teman-teman sekolahnya.
Kala itu aku tak mampu membantunya. medekatinya pun aku tak sanggup. Hanya saat sepulang sekolah, aku bisa menemaninya pulang atau sekedar mengobrol sebentar. Ia kerap memelukku berterima kasih karena masih mau menjadi temannya. Tapi aku ini pengecut. Aku hanya bisa diam di depan semua orang saat ia dihina. Aku tak pernah   berani membelanya. Kini aku hanya bisa menyesal.
Maaf.. aku harap kini kau hidup dengan baik.

Photo by Naveen Annam from Pexels

Read more

Saturday, February 1, 2020

Ketulusan

Bagi seorang bayi, segala hal kecil bisa tampak menarik. Hanya melihat plastik yang bersuara saat di remas saja, ia seperti menemukan harta karun. Begitulah mungkin yang ada di pikiran gadis kecilku saat ini. Nafisah, usianya tinggal beberapa hari lagi genap 1 tahun. Meski masih belum tegap berjalan, ia tetap melangkah dengan semangat. Sesekali kakinya terhenti karena lelah. Kadang bola matanya terpaku pada ayam-ayam yang berlarian. Ia begitu polos dan jernih. Senyumnya teramat tulus diberikan padaku.

Sore ini tangannya terus menggenggamku agar menatihnya berjalan. Seperti hari-hari kemarin, ia tak kunjung lelah meski pundak ibunya mulai tak nyaman. Tapi ada hal unik di sore ini. Setelah beberapa langkah berjalan, kepalanya mendongak padaku. Seketika senyumnya merekah saat kutatap matanya. Mungkin ia sedang merekam kebersamaan kami. Tampak remeh bagi orang dewasa, tapi menjadi istimewa di mata anak-anak. Entah kenapa senyum manisnya teramat menyihirku. Rasa lelah sedari tadi pun tiba-tiba hilang. Ada lega dan bangga melihat tatapan penuh cinta dari putriku. 

"Sesuatu yang berasal dari hati, akan sampai ke hati"

Kalimat itu jadi terasa amat benar. Cinta dari anak-anak adalah sebuah ketulusan. Seringkali aku lupa betapa lunturnya perasaan mereka karena sikapku yang tak benar. Amarahku yang mudah meluap. Maka tak heran lambat laun hati mereka makin jauh. Padahal bukan begitu anganku sebagai seorang ibu. Hanya saja anak-anak tetaplah tak akan mengerti. Bahwa dunia orang dewasa terlalu sulit disenangi. Sehingga penat, letih menjadi begitu mudah terlempar pada si kecil yang tak bersalah. 
Meskipun begitu, alasan seperti itu tak pernah bisa dibenarkan. Karena pada kenyataannya, anak-anak adalah makhluk yang suci dari salah. Mereka adalah bukti bahwa kita orang dewasa pernah setulus itu. Walau kini tak begitu lagi.


Read more