begitu yang terlintas di kepalaku setiap berita tentang bullying mulai ramai beredar. Aku bukan pelaku perundingan, tapi pernah merasakan di bully. Bertahun-tahun berlalu rasa sakitnya masih ada. Kepercayaan diri yang menurun akibat hinaan yang berulang. Tapi aku bisa melewatinya. Tentu itu anugerah Yang Maha Kuasa. Hanya saja bekas nya masih terasa.
Beberapa hari ini berita tentang pelajar yang dibully teman-temannya santer di media sosial. Bukan hal baru jika sekolah menjadi gudang kasus bullying. Hanya saja media sosial di masa kini memudahkan berita semacam itu menyebar. Setiap kali membaca cerita tentang anak-anak yang dibully, aku masih tersedu saat sendirian.
Selain trauma, aku pun punya penyesalan. Dulu ada seorang teman yang menjadi korban bully. Keadaannya tentu lebih buruk daripada aku. Ayahnya pergi merantau. Ibunya punya masalah kejiwaan. Diusianya yang masih sekolah dasar. Ia pun mesti merawat ibu dan adik bayi yang baru dilahirkan. Keadaannya yang jauh dari kecukupan dan nyaman, tentu menjadi sasaran empuk pelaku perundungan. Ia sering dicemooh, diganggu dan dijauhi teman-teman sekolahnya.
Kala itu aku tak mampu membantunya. medekatinya pun aku tak sanggup. Hanya saat sepulang sekolah, aku bisa menemaninya pulang atau sekedar mengobrol sebentar. Ia kerap memelukku berterima kasih karena masih mau menjadi temannya. Tapi aku ini pengecut. Aku hanya bisa diam di depan semua orang saat ia dihina. Aku tak pernah berani membelanya. Kini aku hanya bisa menyesal.
Maaf.. aku harap kini kau hidup dengan baik.
![]() |
Photo by Naveen Annam from Pexels |
0 komentar