Sunday, August 20, 2017

Santri Usia Dini

Tiga hari menjelang ramadhan saya ke dokter untuk memastikan tidak ada gangguan saat puasa nanti. Si abang (suami) yang bosan menunggu antrean keluar sebentar mencari bakso. Sebuah pemandangan tak menyenangkan ia temui. seorang anak yg menangis di pelukan ibu nya, merengek ingin pulang. sedang ayah nya membentak nya marah, menekannya untuk tetap bertahan di pesantren. Abang tau ia bukan siapa-siapa, hanya penonton yg ikut terluka.
Aku bisa merasakan betapa geram nya suamiku. Ia juga seorang ayah. Tak sampai hati melihat anak yg belum akil baligh itu dipaksa nyantri hanya karena ambisi orang tua nya.
Pikiranku melayang pada beberapa tahun silam saat mantan penyanyi cilik "tasya kamila" bercerita bagaimana anak-anak yang dipaksa mengikuti audisi menyanyi oleh orang tua nya, ada yg dicubit, dimarahi, agar berusaha keras untuk menang.
Apa yg sama disini?
Dulu audisi menyanyi, sekarang audisi hafidz cilik, dai cilik.
Para orang tua berbondong-bondong memasukkan anaknya sedini mungkin di pesantren. Sampai lupa anak-anak masih butuh perhatian mereka. Mereka seenaknya sendiri ingin anaknya jadi santri sukses, tapi tak mau tau proses yg anak-anak alami di pesantren. Jika gagal, tinggal kambing hitam kan saja pesantren nya, marahi saja anak nya. Beres !
Orang tua yg hanya terpaku pada hasil yg mulus, sukses yg instant, lalu ambisi terkenal mereka terpenuhi.
Mereka tidak tau bahwa anak2 hebat yg mereka lihat adalah hasil ikhtiar ayah ibu yg luarbiasa.  Dari sebelum hamil, ada ayah ibu yg tak berhenti berdoa, saat hamil pun khatam al quran berkali-kali. Juga menjaga diri dari makanan yg sumbernya haram. Dan banyak ikhtiar lain agar lahir anak yg lahir sholih , alim.
Lalu apa yg sudah kita lakukan agar memiliki anak hebat semacam itu?
Mencubit, memarahi, memukul, dan menyakiti dg lisan kita?
Mari sadar lah.... perbaiki diri sendiri jika ingin anak kita tumbuh dg baik. Kalau kita bisa memaksa anak belajar, maka kita juga harus belajar menjadi orang tua yang baik. Kita adalah tempat tumbuh anak-anak. Teladan yang mereka cintai. Kita juga lah pendidik pertama, pembangun karakter, peletak pondasi agama.
Jangan biarkan mereka menjadi santri cilik yg tertekan.
Kita lah yg harus memperbaiki diri agar menjadi orang tua teladan.
(Aisyah dan suami yg sedang prihatin)
Jepara, 2 Juni 2017

Load disqus comments

0 komentar